berdiri menghadapi ladang
ukir asa pada ragam guludan
cipta emas dari garing bongkahan
penuh harap walau kadang tak sepadan
tak hanya hitungan tahun, namun berabad selalu begini
tak menghitung waktu, kau tempuh hari
menantang garang matahari
menanam harapan pada benih yang kau semai
legam kulitmu
kerut merut wajahmu
gambarkan deritamu
namun masih jua terlukis rindu
kecap bahagia anak cucumu
walau raut semakin senja
harapan yang sama masih saja kau tempa
doa serupa selalu kau pelihara
banyak hal tak berpihak padamu
musim tak lagi mampu kau dekap
harga pupuk kian meningkat
tanah ladang semakin mandul
hanya menyimpan senyawa beracun
namun engkau tetap setia
melangkah di pematang pematang penuh dilema
menggauli tanah dengan semangat membara
menumpukan segala harapan pada cangkul berirama
menggadai darah dan belulang pada rumpun rumpun asa
by : Pipit Mungil (Lia Salsabila)
240909
Selasa, 14 September 2010
Kerinduan di Puncak Ijen
Cerpen Oleh : Lia Salsabila
SEPULUH jam, bukan perjalanan sebentar, cukup melelahkan. Perih pun memagut hati tak terperi. Sepanjang jalan kulalui dalam diam. Pikiranku mengawang tak alang kepalang. Kembali kubaca surat dari Rangga. “Arrghh..!! Mengapa begitu berat rasa ini,” batinku. Lelehan air bening mengalir lagi tak bergeming dari sudut kelopak mata.
Jalanan mulai menanjak bergelombang. Dingin menusuk hingga ke tulang, menyadarkanku untuk kembali dari kembara maya tak henti. “Sampai di manakah ini?” batinku.
Sekilas kulirik sopir angkot yang membawaku dari terminal Bondowoso. Ia begitu asyik menekuri jalanan curam dalam diam. “Hufftt… apa yang kucari hingga aku mendampar di sini?” batinku.
Kembali membayang wajah-wajah orang terkasih. Elang yang teramat kurindukan, tak jua memberi kabar. Dan Rangga yang baru saja kutinggalkan. “Ya Tuhan,” desahku.
Tiba-tiba mobil berhenti. “Saya hanya bisa mengantar sampai di sini, Neng,” ujar supir angkot.
“Seberapa jauh lagi, Pak, ke Jampit?” tanyaku.
“Sekitar 15 km. Dari sini Neng naik ojek saja ke sana,” jelasnya.
Kuayun langkah ke pangkalan ojek yang ditunjuk. Tak tampak seorang pun. Kembali aku termangu dalam diam, serupa orang terbuang. Detik ke menit, menit ke jam, tak satu pun langkah dan sapa kutemukan.
Hampir magrib ketika kulihat sepeda motor menuju arahku. Tanpa peduli apapun langsung kuhentikan motor itu.
“Ada apa mbak?” tanya pemuda pengendara motor.
“Mas, mau ke Jampit ya?” tanyaku. Dia hanya mengangguk.
“Boleh ikut, Mas? Saya juga mau ke sana.”
Hening sejenak. Tak lama dia pun menjawab. “Baiklah, Mbak. Oh ya, kenalkan. Nama saya Jack,” ujarnya mengulurkan tangan.
“Liana,” jawabku, menyambut uluran tangannya.
Jalanan kian buruk. Tanjakan terjal dan curam tak dapat dihindari. Hawa dingin semakin menusuk seakan ingin membekukan badan. Di kejauhan tampak titik-titik cahaya kian lama kian dekat. Berikut deretan rumah mungil lengkap dengan taman di halamannya. Khas rumah di perkebunan.
“Mbak mau ke tempat siapa?” tanya Jack.
“Ke rumah Pak Yoss, manajer PT….,” jawabku, menyebut nama sebuah PT.
“O, kebetulan, Mbak. Saya juga mau bertemu Pak Yoss.”
Tak lama kami berhenti di depan sebuah rumah mungil namun asri dan bersih. “Saya panggil Pak Yoss dulu, Mbak.” Bergegas Jack masuk. Sekian detik berselang, Jack sudah keluar bersama seseorang yang mirip Mr. Jefri, bosku waktu di Denpasar. Dia tersenyum lebar.
“Selamat datang, Mbak Liana. Saya Yoss, Manajer Produksi di sini. Mr. Jefri sudah banyak bercerita tentang mbak. Semoga betah tinggal di sini, dan selamat bergabung,” ucap Pak Yoss menyambutku.
“Terimakasih, Pak Yoss,” jawabku.
“Oh ya, besok saja kita bicara. Sekarang Mbak istirahat dulu. Jack, tolong antar Mbak Lia ke rumah Pak Umar.” Aku dan Jack mengangguk bersamaan.
Aku tinggal di rumah Bapak dan Ibu Umar. Mereka hanya tinggal bertiga dengan cucunya. Sebenarnya ada mess perusahaan. Namun aku menolak tinggal di sana, karena penghuninya lelaki semua, termasuk Jack yang ternyata mandor di perusahaan ini.
Aku langsung akrab dengan keluarga kecil itu. Mereka sangat ramah dan antusias menyambut kedatanganku. Meski rumah bambu, namun tetap nyaman. Untuk mengusir dingin Ibu Umar memberiku tiga selimut tebal.
Dusun Jampit berada di kaki Puncak Ijen dengan ketinggian ± 1.600 mdpl. Dan kalau tidak salah dengar, tadi Pak Umar mengatakan bahwa sekitar bulan Juli – Agustus sering muncul frost (embun salju).
Tak terasa sudah sebulan. Aku seolah dibuat lupa pada perih akan rindu yang meyembilu. Tiap hari ada saja hal yang harus didiskusikan dengan Pak Yoss dan dirapatkan dengan semua mandor. Paling menyenangkan ketika aku ke lahan mengecek tanaman dan panen. Semua resah seolah terbang bersama hembusan angin.
Pagi ini, seperti biasa aku keliling lahan saat kabut masih landai. Ujung dedaun kuyup oleh embun. Tetesannya berpindah cepat ke ujung celana menambah gigilnya raga.
“Mbak Lia..!!” Aku menoleh ke arah asal suara. Tampak sesosok ramping berlari mendekat.
“Ada apa, Jack?” tanyaku ketika sosok itu sudah di dekatku.
“Besok akan ada mobil dari Bali, mengambil sayur. Sore ini kita harus panen,” jawab Jack masih terengah.
“Dari Bali? Siapa Jack, yang bawa…? Siapa???” cecarku gugup. Jack terlihat bingung memandangku.
“Aku juga tidak tahu, Mbak,” jawabnya.
“Ya, sudah. Hubungi semua mandor. Kita panen jam 3,” kataku. Lalu bergegas meninggalkan Jack yang kian bingung dan termangu dalam anggukannya.
Setelah perbincanganku dengan Jack pagi tadi, kedamaian seolah menguap dari hati. Beban rasa seakan ditarik magnet, tersedot kembali ke permukaan. “Ya Tuhan. Ranggakah? Gustikah? Atau yang lainnya yang menjemput sayur besok?” desahku.
Sekelebat wajah mereka kembali membayang. Aku membolak-balik foto yang dulu sempat kuambil. “Rangga, masihkah sejuta misteri menyelimutimu?”
Tiba-tiba hatiku terkejut, berdesir, ketika selembar foto jatuh di pangkuan. “Ya Allah.. Elang,” gumamku. Tak tertahan tetesan bening luruh lewati pipi. “Sayang, engkau di mana? Mengapa tiada berita? Tak adakah rindu di hatimu?” isakku sendu.
Melamun menatap awan
Mencarimu di antara bias cahaya rembulan
Pandanganku nanar
Tak satu pun jejakmu di sana
Akankah janjimu kau lupa
: aku akan kirim senyuman melalui purnama,
sebagai pengganti raga
Mana?!
Tak sekelebat pun ronamu di sana
Arrrgghh…!!
Aku tetap memandang
Berharap bayangmu datang
Walau dalam mimpi malam
“Hei, siapa ini. Please… jangan main-main,” teriakku ketika sepasang tangan membekap mataku dari belakang.
“Liana, aku begitu merindukanmu,” bisiknya syahdu.
“Kak Gusti? Benarkah ini kakak?” seruku gembira.
“Iya, Dek. Ini aku, Gusti,” ujarnya sembari membalik tubuhku.
Aku tersenyum menatapnya. Dia tak berubah, tetap lembut penuh kasih. Namun, ada yang perih di hati. Gerimis tak terbendung menguar sendu.
“Mengapa bukan Rangga?”rintihku di hati. Bukan tak senang bertemu Gusti. Namun tak bisa dipungkiri, aku berharap Rangga yang datang.
“Dengan siapa kakak kemari?” tanyaku ketika kami sudah duduk di dangau, melihat orang-orang menaikkan barang.
“Dengan Yusuf. Kenapa?” Gusti balik bertanya.
“Enggak, gak ada apa-apa,” jawabku gugup.
“Kenapa Rangga tidak ikut?” kembali aku bertanya.
Huffttt..! Lirih kudengar Gusti menghela nafas. Lalu, “Kenapa kamu malah bertanya tentang dia, Liana? Kenapa?!” Gusti sedikit emosi.
“Tidak cukupkah hadirku membuatmu senang?” Gusti melangkah, menjauh, tanpa menunggu jawabku. Tampak gurat kecewa di wajahnya.
“Arrgh..! Mengapa aku begitu bodoh, tak pernah peka pada perasaan Gusti?” rutukku.
Sejak kedatangan Gusti dan kepergiannya tanpa pamit itu, beban rasa kian menghimpit. Bayang wajah Elang, Rangga dan Gusti menjejali pikiran. Surat yang rencananya kutitipkan buat Rangga, kuremas geram. Dalam hati kuniatkan, besok pagi semua beban akan kuutarakan. Tanpa sadar sajak kerinduan menguar.
Rindu dalam sekat waktu
Berpagar jarak sendu
Perlahan kudaki tangga rindu
Rasakan tiap langkah mendera pilu
Angin rindu membelai tubuh
Menembus pori timbulkan ruam
Gigil kerinduan membakar peluh
Dalam sunyi kupangku diam
Gerah rindu membanjir ulu hati
Membentur dinding jarak memagari
Setia pada janji terpatri
Bergegas aku mencari Jack di mess. Seperti niatku semalam, pagi ini aku harus naik ke Bukit Hitam, sebuah bukit di dekat perkebunan. Mengungkapkan semua beban rasa pada Elang dan Rangga. Mungkin juga aku harus minta maaf ke Gusti. Selain tak ada aliran listrik, di Jampit juga tak ada jaringan telpon. Perlu pergi ke Kecamatan Sempol, atau naik ke Bukit Hitam untuk mendapatkan sinyal HP.
“Jack, tolong antar aku ke Bukit Hitam sekarang. Aku harus menelpon. Penting..!” pintaku setengah memohon pada Jack.
“Mbak Lia yakin mau ke sana? Bukit itu lumayan tinggi lho. Setengah jam dari kaki bukit hingga puncak.”
Aku mengangguk mengiyakan.
Tepat tengah hari aku dan Jack sampai di puncak Bukit Hitam. Benar kata Jack, bukit ini lumayan tinggi. Licin berbatu. Namun aku tak perduli. Demi orang terkasih, apapun rela kulakukan. Kami berkeliling mencari sinyal. Tepat di sebuah batu besar, sinyal lumayan kuat.
“Aku menelpon dulu ya, Jack. Silakan kamu jalan berkeliling.”
Jack hanya mengangguk, lalu pergi menjauh.
Baru menekan nomor Elang, tanda pesan masuk berbunyi panjang. Sekitar 20 pesan kulihat. Sebagian besar dari Elang, beberapa dari Rangga dan adikku. Satu satu kubuka pesan dari Elang.
#1 “Liana sayang, maafkan aku baru berkirim kabar”
#2 “Sayang, betapa aku merindukanmu. Adakah kau jua rindu? Mengapa tak kau balas pesanku, marahkah?”
#3 “Liana, mengapa tak jua kau balas pesanku? Ada apakah gerangan?”
Serangkaian pesan sarat kerinduan membuat rinduku kian mendayu. Seakan menebus kesalahan karena dia jarang menghubungiku sewaktu di Bali.
Segera kutekan nomor Elang. Tuuut….
”Hallo, sayang,” jawab Elang dari seberang.
“Elang, bagaimana kabarmu? Aku rindu,” jawabku syahdu. Tut..tut..tut..tut, sambungan telephon tiba-tiba terputus. Kembali kutekan nomor Elang.
“Nomor yang anda tuju sedang sibuk.”
“Duh Elang..angkat donk, please…”
Sekali lagi kutekan nomor Elang. “Nomor yang anda tuju sedang sibuk.” Ketiga, keempat, kesekian kali kupencet nomor yang sama dengan jawaban yang sama pula.
Tak terasa air mata jatuh satu satu. Terduduk aku menahan pilu. Terisak dengan dada kian sesak.
Kucoba menghubungi Rangga. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.” Berkali kucoba, berkali pula kudengar jawab yang sama.
“Ya Tuhan. Sejauh ini aku mendaki, akankah sia-sia?” isakku kian tak tertahan.
Gusti. Iya, Gusti. Siapa tahu aku bisa bicara dengannya. Berkali kutelpon Gusti. Namun tak juga diangkat, meski terdengar nada masuk. Mungkin dia masih kecewa.
Kuperas luka hingga mengering. Kubiarkan perihnya menganak sungai melewati sudut mata, lalu jatuh mengalir di kedua pipi yang lama kering. Seiring beban luka yang terangkat menguap dihembus semilir, luruh ke tanah terserap musnah.
Dengan gontai kuhampiri Jack. “Kita turun sekarang, Jack,” kataku parau.
“Bisa nyambung, Mbak, teleponnya?” tanya Jack. Namun kubiarkan pertanyaannya menggantung tanpa jawaban.
“Besok aku mau turun ke Sempol. Kalau mau, Mbak boleh ikut,” Jack bersuara kembali memecah keheningan. Aku hanya mengangguk lemah menanggapi ajakannya.
Kerinduanku kian menggunung, air mata berderai tak terbendung. Masih kusimpan harap, esok kerinduan kan terjawab. “Ya, aku harus ikut Jack besok ke Sempol,” yakinku dalam hati.
Sebelum melangkah ke alam mimpi, kusempatkan menulis sepucuk surat buat Rangga. Besok akan kukirim lewat kantor pos.
Termenung di atas tilam, aku pun berbisik. “Oh purnama, andai kau ada di sampingku, tak hanya mengintip dari celah jendela kayu, pasti aku memelukmu. Berbagi kisah sendu, atau hanya sekedar merajuk manja, tuk usir semua gulana dan penat jiwa. Andaipun tak bisa, tak mengapa. Cukup dengarkan saja kidung sunyiku. Lalu tersenyumlah untukku, hingga aku bisa memelukmu dalam mimpiku.”
Pagi-pagi sekali Jack sudah datang. Kudengar dia berbincang dengan Pak Umar. Lalu, “Mbak Liana jadi ikut, kan? Sudah siap apa belum?” Tanya Jack dari balik pintu.
“Sedikit lagi, Jack,” jawabku. Sekali lagi kupatut diri di depan cermin sebelum keluar kamar menemui Jack.
“Bapak, Ibu.. Saya ke Sempol dulu ikut Jack,” pamitku.
“Hati-hati di jalan, Nak.” Ramah dan penuh kasih, Bapak dan Ibu Umar melepasku.
Aku dan Jack berjalan beriringan menuju mess. Sepeda motor Jack ada di sana.
“Yang lainnya mana, Jack? Kita berdua saja?” tanyaku.
“Iya, Mbak. Yang lain sudah berangkat duluan. Tadi, sewaktu aku menjemput Mbak” jawab Jack.
Kami berangkat dalam diam. Aku masih saja takjub dengan pemandangan di sini. Begitu indah. Hawanya juga sejuk. Bukit-bukit landai dengan hamparan rumput menghijau. Sangat tepat untuk lokasi shooting, pikirku.
“Berhenti dulu Jack,” pekikku tiba-tiba setelah tanpa sengaja kubuka tas.
“Ada apa, Mbak?” tanya Jack mengerem mendadak.
“Surat dan HP-ku ketinggalan,” jawabku penuh sesal dan kesal. Kok bisa-bisanya aku seteledor ini. Mungkin karena tadi terburu-buru, dan sudah lama HP jarang digunakan, jadi lupa.
“Bisakah kita kembali sebentar, Jack?” pintaku memohon.
Dia hanya mengangguk lemah dan langsung putar arah. Sekilas nampak kesal di raut wajahnya.
Sesampai di rumah aku langsung bergegas ke kamar. HP dengan cepat kutemukan. Tinggal surat untuk Rangga. Seingatku ada di meja. Tapi sekarang tak ada. Kugeledah seisi kamar, tak juga kudapatkan surat itu. Hampir menangis ketika tiba-tiba Ibu masuk.
“Cari apa, Nak Liana,” tanya Ibu, lembut.
“Surat, Bu. Semalam saya taruh di meja. Sekarang sudah tidak ada,” jawabku sambil mencari di lemari.
“Coba lihat adikmu di depan. Dia kelihatan asyik dengan sesuatu,” kembali Ibu berkata.
Kuhampiri cucu Ibu di ruang tamu. “Ya Tuhan!” pekikku dalam hati. Surat itu sudah diremas-remas tangan mungilnya.
Mau marah, percuma. Si kecil yang sering kugendong itu jelas tak tahu apa-apa. Ia mungkin kebetulan menemukannya di dalam kamarku yang tak terkunci.
Kekesalanku tumpah dalam air mata. Kerinduan yang kutuang dalam tulisan semalam, menjadi tak ada artinya. Tanpa menunggu lagi, segera aku kembali menjumpai Jack.
“Ayo, Jack. Kita berangkat,” ajakku pelan.
Sepanjang perjalanan kami lalui dalam diam. Jack juga tak mengajakku berbincang. Mungkin dia sungkan karena tadi sempat melihat air mataku menggenang.
“Itu kantor posnya, Mbak,” kata Jack.
“Gak perlu ke sana, Jack. Suratnya hilang,” jawabku dengan suara kembali bergelombang. Harapan untuk memberi kabar dan bercerita tentang banyak hal pada Rangga, sirna. Semoga aku bisa meneleponnya kali ini.
“Di kantor kecamatan sinyalnya kuat, Mbak,” Jack membuyarkan lamunanku.
“Mbak nggak apa-apa kan saya tinggal di sana sebentar. Saya mau ke teman-teman yang lain dulu,” lanjut Jack. Aku hanya mengangguk pasrah.
Tak ingin membuang waktu, segera kutekan nomor Elang.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.”
“Duh Elang, kamu di mana?” rintihku lelah.
Sekali lagi kutekan nomor Elang. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.” Ketiga, keempat, kesekian kali, masih juga jawaban yang sama.
Tak terasa air mata kembali jatuh. Kejadian di Bukit Hitam terulang kembali. Terduduk aku menahan pilu. Terisak dengan dada makin sesak.
Kucoba menghubungi Rangga. “Tuut….Maaf, aku sedang sibuk. Silakan meninggalkan pesan.” Berkali kucoba, berkali pula kudengar jawaban itu-itu juga.
Batinku terasa begitu lelah. Beban rasa satu pun tak terbelah. Utuh menyembilu serupa pisau menghunjam jantungku. Aku menangis tak tertahankan. Isakan mengguncang tubuh tak kuhiraukan. Biarlah kerinduan dan beban ini tumpah, meruah.
Tiba-tiba, “Mbak Lia, kenapa?” Jack sudah berada tepat di depanku. Tak kusadari kehadirannya.
“Semua.. sia-sia.., Jack. Tak satu pun.. yang bisa.. kuhubungi,” jawabku terputus-putus di sela isakan.
“Harapan… untuk bisa melepas kerinduan… dengan orang terkasih… padam sudah..,” rintihku sesenggukan. Jack hanya mendengarkan tanpa bersuara sedikit pun.
Sekian menit kami tenggelam dalam keheningan.
Tiba-tiba Jack meraih tanganku dan menggenggamnya, seraya berkata, “Tumpahkan semua kesedihanmu padaku, Liana. Telah lama aku memperhatikanmu. Sepertinya begitu banyak beban kaurasakan. Dan semuanya tampak di telaga matamu yang bening.” Ia tak lagi memanggil mbak.
Aku terkejut. Mulut tanpa sadar menganga. Masih tidak percaya pada perlakuan Jack dan semua kata-katanya.
“Kenapa diam, Liana? Aku serius dengan ucapanku.” Kembali Jack berkata, meyakinkan. Aku tetap bergeming, tak menjawab pertanyaannya.
Hampir satu jam menangis, dan sudah lelah, aku berkata lirih pada Jack yang sejak tadi di sampingku. “Aku akan cerita, Jack. Tapi tidak saat ini. Lebih baik kita pulang saja sekarang,” pintaku padanya. Lagi-lagi ia hanya mengangguk mengiyakan. Hal yang aku suka darinya, selalu mengerti kapan harus diam dan bersuara.
Sebelum berangkat kusempatkan mengirim pesan buat Elang. “Maafkan aku, sayang. Tak ada maksud tak hiraukan pesanmu. Namun sinyal di sini tidak memungkinkan. Aku akan menceritakan semua padamu nanti. Aku tunggu di tempat biasa kita bertemu, akhir bulan ini. Aku harap kamu bisa datang. Love hamesya*, Liana.”
Hampir magrib ketika aku menginjakkan kaki di dalam kamar. Segera kubersihkan diri. Berwudhu, lalu bersiap shalat Magrib. Dalam doa-doa panjang kembali kutumpahkan semua beban. Air mata menetes membasahi mukena, seakan tak pernah surut. Biarlah hari ini aku menangis menumpahkan segalanya.
Sejak saat itu, hari terasa kian panjang. Malam-malam begitu lengang. Musim frost pun datang beranting. Aku makin tergigil, sendiri di puncak terasing. Kutulis banyak pesan untuk Elang dan surat buat Rangga, walau keduanya tak mungkin terkirimkan. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk meredam gejolak kerinduan.
“Pada merdu orkestra binatang malam, kuselipkan sebaris nada kerinduan akan kesucian heningnya malam, serta sapa santun penuh senyuman. Elang…adakah jua rindu di hatimu? Salam malam selembut cahaya rembulan.”
“Elang, saat temu hanya menjadi sebuah harapan, terhalang oleh jarak membentang. Percayalah, takkan kulepas cintamu. Yakinlah, cinta kita kan selalu menyatu dalam kalbu.”
“Tiupkan semilir Kawah Ijen ‘tuk mengusir gerah rindu yang membakar kalbu. Kecup kelopak mataku dengan sejuk embun saljumu, hingga kulelap. Dan dalam mimpi kan kubawa rindu ke pangkuan hatimu.”
Kutatap wajah Elang yang lamat-lamat muncul di balik purnama. Sepersekian jenak, sebelum lelap menghanyutkanku. ***
Januari ’10
Minggu, 12 September 2010
Secuplik Cinta di Pulau Dewata
Cerpen : Lia Salsabila
“UBUNG terakhir….Ubung terakhir.” Aku tergeragap bangun, melihat pergelangan tangan. Masih jam 5 pagi.
Turun dari bus yang membawaku dari kota Blambangan semalam, seorang pria separuh baya menghampiri. “Mau ke mana, neng?” tanyanya.
“Ke jalan Mertasari, Sanur, Pak. Tapi saya mau shalat dulu.” Aku bergegas mencari mushalla terdekat.
Usai shalat aku kembali ke terminal. Masih bingung, karena baru pertama kali menginjakkan kaki di kota dengan keindahan terkenal ke mancanegara ini. “Hmmm….Pulau Dewata , sampai juga aku di tanahmu,” gumamku dalam hati.
Pria tadi yang ternyata supir taksi kembali menghampiri, “Bagaimana, neng? Mau saya antar?” Aku mengangguk.
Kami tawar menawar harga, dan sepakat. Tak lama aku sudah di dalam taksi, meluncur di jalanan Kota Denpasar di pagi yang masih lengang. Tatanan kota begitu asri. Bangunan-bangunan khas lengkap dengan tugu-tugu berpayung di depannya membuatku kian tertarik .
“Pak, bangunan seperti tugu berpayung itu, apa ya? Kenapa hampir di tiap rumah ada?” tanyaku penasaran.
“Itu pura, neng. Tempat pemujaan kami, umat Hindu. Di tiap rumah pasti ada, meski hanya sebagai replika dari pura yang lebih besar. Misalnya replika dari Pura Besakih,” jawab bapak supir taksi itu.
Ooo… jadi itulah pura yang pernah kubaca atau kudengar ceritanya, batinku, sambil tetap memperhatikan deretan rumah dengan pura di depannya.
“Mertasari berapa neng?” pertanyaan pak supir mengagetkan keasyikanku. Aku menyebutkan sebuah nomor.
Di depan gerbang berwarna biru taksi berhenti. “Sudah sampai, neng,” ujar supir taksi itu lagi. Bergegas aku membayar ongkos taksi, lalu turun dan berjalan ke gerbang yang tertutup rapat.
Ketika aku masuk, terlihat bangunan besar seperti gudang dan sebuah rumah mirip kantor. Tempat ini begitu lengang, pikirku. Agak lama aku berdiri mematung di depan bangunan rumah itu, memperhatikan pura yang cukup besar lengkap dengan sesajen di sekitarnya. Tiba-tiba, “Cari siapa, mbak?” sebuah suara menegurku.
“Emm..saya mau ketemu Pak Handoko, mas,” jawabku.
“Tunggu saja di kursi panjang itu, mbak. Jam 8 baru dia datang.”
Aku duduk di kursi yang ditunjuk pemuda tadi. Kalau dilihat dari logatnya sepertinya dia asli orang Bali.
Sudah jam 8, tapi Pak Handoko belum juga kelihatan. Gudang yang tadi sepi sudah hidup dengan aktivitas para pekerja.
Hampir jam 9 saat kulihat seorang berbadan tinggi besar menghampiriku. Dia tersenyum, “Mbak Liana ya?”
“Iya,” jawabku.
“Saya Handoko, HRD di sini,” ia memperkenalkan diri sambil menjabat tanganku. “Saya dapat kabar dari Mr. Jefry jika mbak tiba hari ini. Selamat datang, mbak.”
“Terimakasih, Pak,” jawabku sambil tersenyum.
Jabatanku lumayan, sebagai Quality Control yang bertugas menjaga kualitas semua barang di perusahaan ini. Perusahaan distributor sayuran. Pelanggannya hotel-hotel, kafe dan mall. Jumlah karyawan sekitar 25 orang, semua baik dan ramah. Ada Wayan, Rangga, Yusuf, Gusti, Paulina, dll. Untung, karena sikapku, aku langsung akrab dengan mereka.
Bulan pertama di Pulau Dewata begitu berat. Aku harus adaptasi, terutama dengan cuaca. Baru seminggu kerja sudah sakit. Huuft.. Ditambah lagi harus menghafal nama semua jenis sayuran di gudang pendingin yang kebanyakan belum pernah kulihat. Namanya bikin aku susah. Ada lolobionda, red okleaf, green okleaf, mizuna, lolorosa, baby bean, dll. Yang paling menyiksa, rindu yang kian menggunung pada sepotong hati nun jauh di sana. Adakah dia juga rindu? Tapi aku sedikit terhibur, dan bisa melupakan semua beban, berkat dua makhluk ganteng bernama Rangga dan Gusti. Aku terkesan dengan sikap mereka. Rangga dengan sejuta misterinya yang seolah tak terjamah. Gusti dengan sejuta perhatian, kelembutan serta senyuman mautnya. Tapi kembali aku teringat pada tambatan hati yang begitu jauh. Sejumput air terasa bergulir dari bola mataku.
Aku bekerja 6 hari dalam seminggu. Tiap hari bekerja 8 jam. Selain cek barang, kadang juga ikut mengantar barang ke pelanggan, sekalian survei. Seperti pagi ini, aku harus ikut ke Nusa Dua dengan Rangga. Aku senang bukan main. Kalau sendirian pasti aku sudah lompat-lompat.
Kami pun berangkat setelah semua barang orderan masuk mobil. Ini pertama kalinya aku pergi berdua dengan Rangga. Seperti biasa dia diam seribu bahasa. Matanya fokus ke jalanan. Wajahnya tanpa senyum. Bête banget jadinya.
Kunikmati pemandangan sepanjang jalan ke Nusa Dua dalam diam. Melihat pura-pura berjajar, rasa ingin tahuku semakin besar. Kuingat sopir taksi yang mengantarku dulu. “Bapak yang baik,” batinku. Tiba-tiba aku jadi sedih. “Arrghh…kenapa Rangga tak seramah dia? Bukankah dia bisa juga bercerita tentang pura padaku?” rintihku dalam hati. Sesekali aku curi pandang ke arahnya. Hmm.. makin ganteng kalau dilihat dari dekat. Tapi ada sesuatu di sana yang begitu sulit aku artikan.
Wajah itu begitu tegas namun lembut
Mata itu meneduhkan namun ada gurat luka di sana
Bibir tanpa senyum, penuh misteri
Aku tinggal di mess perusahaan. Setiap 2 hari sekali aku harus cek barang kiriman dari Kawah Ijen, kebun perusahaan, yang datangnya jam 1 pagi. Aku di mess bersama 7 orang lainnya. Semua laki-laki, termasuk Rangga dan Gusti. Di antara mereka berdua, aku lebih dekat dengan Gusti. Gusti selalu mengantarku ke mana-mana. Dia ramah, lembut, penuh perhatian hingga aku nyaman bersamanya. Karena kedekatanku dengan Gusti, muncul gosip kalau kami berpacaran. Dan Rangga seolah tak peduli dengan gossip itu. Rangga semakin penuh misteri. Tapi kenapa kadang aku begitu yakin kalau dia suka padaku. Hufft.., kenapa dia tak sebaik Gusti dan yang lainnya, rutukku.
Sore ini aku berencana ke Sanur dengan Gusti. Sekitar jam 17.00 WITA kami berangkat. Di gerbang kulihat Rangga melangkah masuk.
“Hei Ga, ikut yuk ke Sanur,” sapaku.
“Enggak ah. Malas, ntar mengganggu lagi,” jawabnya.
”Iya enggak lah, Ga,” kataku. Dia langsung pergi tanpa menjawab. Sekilas kulihat ada kilat amarah di matanya. Wajahnya makin keras. Ada gurat kecewa di sana. Mungkinkah dia cemburu? Ah, tak mungkin, pikirku.
Di perjalanan kunikmati lagi rumah-rumah dengan bangunan pura di depannya. Mengingatkanku pada perbincangan dengan supir taksi yang mengantarku dulu.
“Liana, kita sudah sampai nich. Ayo turun,” seru Gusti membuyarkan lamunanku. Kami melangkah ke pantai.
“Ramai juga ya kak, pantainya. Ke dermaga itu yuk,” ajakku ke Gusti yang memang dari awal kupanggil kakak. Bergegas kami menuju dermaga. Banyak pasangan muda-mudi yang juga menikmati indahnya suasana pantai.
“Mas-mu sudah telpon, Liana?” Gusti tiba-tiba bertanya.
“Belum, kak. Ini sudah seminggu. Aku sms nggak dibalas, aku telpon nggak aktif.”
Gusti diam. Lalu, “Sabar ya, mungkin mas-mu memang sibuk,” ujarnya. Aku mengangguk.
“Eh, Rangga tadi kenapa ya. Kok begitu, seperti nggak suka kita jalan. Jangan-jangan dia naksir Liana tuch, hehe..,” ujarnya lagi.
“Jangan asal dech, kak. Nggak mungkinlah,” jawabku.
Kami nikmati keindahan pantai Sanur hingga malam tiba.
“Sudah malam. Pulang yuk,” ajakku. Kami pun pulang dalam diam.
Aku makin betah di perusahaan ini, di kota ini. Semua begitu baik padaku, terutama Gusti yang semakin perhatian. Kecuali Rangga. Dia tetap cuek penuh misteri. Dari mbak Paulina aku tahu kalau dia pernah patah hati. Aku makin penasaran dan agak tersinggung karena dia nyaris tak pernah menganggapku. Sialan…, umpatku dalam hati.
“Liana, kamu dicari Rangga tuch,” kata Yusuf. Rangga tampak tergesa menghampiriku.
“Ada apa, Ga? Serius banget,” ujarku.
“Ikut aku ke Hard Café, mereka complain.” Rangga terlihat tegang.
“Sekarang, Ga?” tanyaku.
“Tahun depan… Iya, sekaranglah. Ayo, buruan.” Tanpa menunggu jawabanku dia berjalan ke mobil. Meski dongkol, aku bergegas mengikutinya. Kami berangkat hanya berdua.
“Apa complain-nya, Ga?” tanyaku. Rangga tetap bungkam seribu bahasa. Aku makin dongkol dengan sikap Rangga.
Tak sampai 15 menit kami sampai di Hard Café. Rangga bergegas masuk tanpa sepatah kata pun. Aku mengekor di belakang dengan perasaan tak menentu.
Tiba-tiba, “Bagaimana ini, Mas. Jual lettuce atau ulat sich?!” teriak kepala koki Hard café. “Untung belum disuguhkan ke tamu. Bisa rugi kami,” rentetnya penuh emosi.
“Kami mohon maaf, Pak, atas kelalaian ini,” ujar Rangga tenang. “Kami akan ganti, dan untuk lettucenya digratiskan,” lanjut Rangga.
Rangga bergegas keluar. Dan masuk lagi dengan beberapa bungkus lettuce di tangan.
Kejadian itu begitu cepat. Sebagai seorang Quality Control, ada sejumput rasa malu menyerangku. Lettuce itu seperti lepas dari pengawasan. Tapi untung ada Rangga, yang bertindak cepat dan tepat. Meski tanpa minta persetujuanku. Aku dibuat tercengang. Lebih tepatnya, terpesona pada ketenangan dan keramahan Rangga yang belum pernah kulihat. “Ya Tuhan, aku semakin tertawan” rintihku.
Sebenarnya aku sudah terikat janji dengan sepotong hati nun jauh di sana. Kami sudah menjalin hubungan cukup lama. Namun aku mulai ragu padanya. Semenjak aku di Pulau Dewata dia jarang telepon. Dalihnya, sibuk kerja dan tidak ada waktu. Hhmmm, bagaimanapun aku jadi bimbang. Apalagi di sini ada Gusti yang selalu perhatian, dan Rangga yang membuat aku penasaran. Sepotong hatiku makin tidak jelas rasanya. Aku mesti bagaimana?
Malam ini mataku masih terbuka lebar. Tak ada tanda-tanda sedikitpun akan terlelap. Besok sore aku akan berangkat ke Kawah Ijen. Setelah 4 bulan di sini, aku dipindahkan ke kawasan pegunungan di daerah Bondowoso, Jawa Timur itu. Untuk mengontrol kualitas hasil sayuran di sana. Entah untuk berapa lama. Bayangan wajah Rangga menjadi penghuni tetap hatiku malam ini. Dan mata Rangga semakin terlihat kelam.
“Liana, ikut aku yuk,” Rangga berkata lembut sekali.
“Ke mana?”
“Ayolah, nanti kamu pasti tahu.”
Aku pun naik ke atas motor yang dipakai Rangga. Katanya, lebih asyik pakai motor. Karena itu ia tidak membawa mobil.
15 menit kemudian di depanku menghampar keindahan pantai Sanur. Ombaknya berdebur pelan dengan riak-riak kecil. Allahu Akbar, sungguh pemandangan yang amat indah. Terasa jauh lebih indah dibanding ketika aku ke sini bersama Gusti.
Aku turun dari motor. Tiba-tiba Rangga menggandeng tanganku. Aku terkejut, tak bisa berbuat apapun ketika dia membimbingku menuju tepian pantai. Wajahnya begitu lembut. Matanya teramat teduh, seakan aku ingin tenggelam di dalamnya.
“Liana.. Jujur, sebenarnya aku suka padamu. Aku mulai mencintaimu.”
Aku terkejut. Bibirku ternganga lebar. Benarkah yang aku dengar?
Belum sempat Rangga melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba, kringggg! Aku tersentak. Jam 5 pagi. Ya Allah, ternyata semua itu hanya mimpi.
Siang itu aku begitu sibuk mengurus keberangkatanku. Pamit sama teman-teman, bercanda dengan Gusti yang seolah tak mau jauh sedikitpun dariku, dan melupakan sosok Rangga yang memang tak nampak sejak tadi. Kata teman-teman, ia sudah pergi dari pagi. Tidak tahu ke mana. Aku sedih, namun hanya sesaat. Karena aku kembali sibuk dengan semua persiapan, dan juga rapat dengan Mr. Jefry.
Tepat jam 3 sore aku bersiap berangkat. Mobil travel sudah datang. Barang-barang sudah dinaikkan ke dalam mobil oleh Yusuf. Semua sahabatku ada di sini. Wayan, Yusuf, Gusti, dan mbak Paulina. Mereka mengantar kepergianku. Gusti menatap nanar. Penuh harap aku celingukan mencari Rangga. Namun lagi-lagi dia tak tampak. Seolah mengerti apa yang aku cari, mbak Paulina berseru, “Dia belum pulang, Liana.”
“Hmmm, iya mbak. Nggak apa-apa. Salam buat dia, ya mbak.”
Dengan berat hati aku masuk ke dalam mobil. Ketika sampai di gerbang, aku terkejut karena ada yang mengetuk kaca jendela.
Ya Allah, wajah itu adalah Rangga. Penuh keringat dan semakin dingin terlihat. Namun ada sesungging senyum kecil di bibirnya. Tak jauh di belakang Rangga, di luar gerbang, tampak sebuah taksi. Agaknya Rangga datang dengan taksi itu.
“Eh, iya Ga. Ada apa,” kataku terbata.
“Nggak ada apa-apa. Cuma mau mengucapkan selamat jalan saja kok,” jawabnya. Nada bicaranya datar. “Maafkan jika aku punya salah.”
“Sama-sama, Ga,” jawabku. Kemudian dia memberiku sebuah lipatan kertas berwarna biru.
“Apa ini, Ga?” tanyaku.
“Baca saja.” Dia pun menepi karena mobil mulai bergerak. Aghh…, tatapan mata itu begitu lekat dan kelam.
Melewati taksi itu, aku langsung mengenal supirnya. “Itu taksi yang mengantarku dulu,” kataku pada supir mobil travel langganan perusahaan yang membawaku.
“O.., itu bapaknya Rangga, neng,” ujar pak supir travel. Aku tercekat. Ohhh! Ingatanku melayang pada Rangga dan bapaknya. Seperti sebuah lingkaran yang bergerak mengitariku.
Sampai di Gilimanuk aku baru membuka kertas pemberian Rangga. Aku penasaran apa sebenarnya yang dia tulis.
Dear Liana.
Wajah mungilmu seolah begitu rapuh. Namun ada sesuatu di sana. Kekuatan besar yang entah, aku tak tahu itu apa. Matamu sayu, namun begitu kuat menyedot sukmaku. Kata-katamu begitu lugas dan tegas, bagai senandung indah nan merdu. Tanpa sadar aku mulai jatuh, luruh menatap wajahmu, tenggelam dalam tatap mata yang begitu sendu. Setiap kata dan ceritamu seolah menyihirku, membawaku dalam kelenaan panjang ketika menikmati senandung yang kau nyanyikan.
Liana.., aku mencintaimu.
Maaf aku tak mampu mengungkapkannya. Hanya ini yang mampu aku buat dan berikan untukmu.
Maafkan sikapku selama ini.
Aku terhenyak. Tanpa terasa air mataku mengalir. Ya Allah, mengapa harus seperti ini jalan hidup yang kujalani. Andai aku membuka surat ini lebih awal. Aku hanya berdoa dalam hati, jika memang kami berjodoh insyaAllah akan ada jalan yang mempertemukan kami kembali.
Dari kapal feri yang kutumpangi, kulihat pulau Dewata semakin jauh dan mengecil.
Pulau Dewata penuh kenangan
Romansa cinta tak terungkapkan
Tempat sepotong hati pernah singgah
Menunggu diriku tuk memetiknya indah
@@@
Januari ‘10
Cerpen pertama
Resah
Oleh : Lia Salsabila
Pada sunyi
Kutitip resah
Pada langit
Kugantung mendung
Tak ingin tumpah
Air hujan gelisah
Tak ingin rindu
Mengombak menggulung
Semilir berhembus basah
Belai jiwa yang gerah
Dalam hening yang bisu
Kunanti lembut sapamu
Detik kemenit
Menit ke jam
Harapanku padam
Pada dinding malam
Kucoba mencari bayang
Wajahmu yang tak bisa hilang
Menari dalam ingatan
Lungrah dalam tilam sunyi
Menanti dan terus menanti
Tilam sunyi
260909
Air Mata di Hari Fitri
Oleh : Lia Salsabila
Waktu bergulir cepat
bulan penuh berkah pun lewat
gema takbir mengalun bersahutan
sambut datangnya hari kemenangan
Perasaanku campur aduk
saat haru, sedih dan bahagia memeluk
haru, ramadhan berlalu pergi
sedih takut tak bersua kembali
bahagia karena tiba hari tuk kembali suci
Namun, terasa ada yang berbeda
Malam ini kurasa tak begitu ceria
riuh bedug di mushalla
tak mampu usir gulana
Dua kali gempa buatku gelisah
menggoyang kotaku bak ayunan saja
aku panik tak terkira, bertanya tanya
bagaimana mereka yang di pusat gempa
Membayang,
Jerit ketakutan erang kesakitan
Menyatu dengan gemuruh reruntuhan
Dan kini, bagaimana lebaran mereka
Jangankan pakaian baru dan kue hidangan
Untuk makan saja menunggu belas kasihan
Sedang rumah pun tinggal puing berserakan
Ya Allah
Peringatanmu datang bertubi tubi
Tetap saja kami tenggelam dalam nikmat semu duniawi
Akankah Engkau mendatangkan peringatan lebih dahsyat lagi
Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar
Laa ilaaha illallahu allahuakbar
Allahuakbar walillahilhamd
Hujan menetes dari kelopak sendu
Saat kulantunkan takbir elukan asmaMu
Berharap hati bersih selalu
Hingga kutetap melangkah di jalanMu
hamparan sajadah
190909
Selamat Malam Sayang
Oleh : Lia Salsabila
Selamat malam sayang
Lelaplah dalam dekap malam
Rasakan cinta dalam kesunyian
Walau hanya tersampaikan lewat
Nyanyian usang
Selamat malam sayang
Nyenyaklah dalam peluk malam
Rasakan semesta berbisik
Pada angin, bintang, dan rembulan
Tentang kedamaian yang tak terusik
Selamat malam sayang
Mari lelap dalam hening malam
Rasakan kedamaian mengalun
Pada ayat ayat langit berkumandang
Sampaikan kerinduan lewat zikir zikir panjang
Kenanglah dalam ingatanmu sayang
Rinduku selalu ada meski biasa saja
Seperti pagi menanti matahari
Dan malam menanti rembulan
Selamat malam sayang
Kenanglah aku dalam nadi dan nafasmu
Agar aku yakin hanya aku dalam hatimu
tilam sunyi
160909
Nyanyian Kembang Jagung
Oleh : Lia Salsabila
72 jam menunggu
rambut keemasanmu
keluar satu satu
di angin berhembus basah
kembang jantanku tak merekah
di angin berhembus kering
serbuksariku jauh terpelanting
di angin tak kering tak basah
benangsariku penuh
30 juta serbuksari lepas
dari ujung kembang jantanku
tubuhku seringan debu
melayang tertiup angin
terserap gravitasi
mendampar di kepala putikmu
terserak serbukku berpeluh
bercinta ciptakan benih baru
berpacu dalam waktu
sebelum kematian merenggutku
Ladang Sunyi
070909
72 jam menunggu
rambut keemasanmu
keluar satu satu
di angin berhembus basah
kembang jantanku tak merekah
di angin berhembus kering
serbuksariku jauh terpelanting
di angin tak kering tak basah
benangsariku penuh
30 juta serbuksari lepas
dari ujung kembang jantanku
tubuhku seringan debu
melayang tertiup angin
terserap gravitasi
mendampar di kepala putikmu
terserak serbukku berpeluh
bercinta ciptakan benih baru
berpacu dalam waktu
sebelum kematian merenggutku
Ladang Sunyi
070909
Bait Rindu
Oleh : Lia Salsabila
/1/
Pucuk rindu sentuh gelisah
Saat semilir rindu berhembus basah
/2/
Tiada rasa tanpa arti raga
Tiada rindu tanpa makna cinta
Senandung rindu tak nyata di mata
Tersirat dalam lelaku jiwa
/3/
Jiwa melayang menembus batas
Tak terlihat dinding bersekat
Lelaku rindu kian terhempas
Di jarak waktu yang tak lekat
/4/
Rindu dalam sekat waktu
Berpagar jarak sendu
Perlahan kudaki tangga sembilu
Rasakan tiap langkah didera pilu
/5/
Semilir desah rindu
Menyayat menyembilu
Rebah ke pangkuan
Meniti dalam kelam
/6/
Gigil rindu mengalir disungai nadiku
Menyebar ke seluruh saraf sarafku
Membelenggu tubuh hingga beku
Terpaku kuberjalan ke muaramu
/7/
Angin rindu membelai tubuh
Menembus pori timbulkan ruam
Gigilnya membakar peluh
Dalam sunyi ku memangku diam
/8/
Dalam sunyi rindu bernyanyi
Dalam diam gigil tak henti
Dalam tilam aku menanti
Bisik rindu menarinari
/9/
Pada malam rindu menari
Bagai belati menikam hati
Dalam sendu aku sendiri
Menatap langit tak berseri
/10/
Rindu selimuti kalbu
Terukir di kisi kisi relungku
Sehalus selendang satin
Memagut menata batin
/11/
Rindu di ujung senja
Terapit waktu kian menghimpit
Penuh luka tetap meronta
Dalam bilik teramat alit
/12/
Rindu dalam keseorangan
Menjerat dalam benang penantian
Sembilu menyayat
Luka memerah merekah
Meradang tergarami
Pedih perih tanpa tepi
/13/
Serpih rindu
Menggenggam sukma
Menggigit mencabik
Darah menghitam
Tetap manis dan segar
Bak madu meracuniku
/14/
Embun suci hidupkanku
Udara pagi bangunkanku
Bara rindu hangatkanku
/15/
Dalam terik ku melangkah
Dalam sunyi ku berlari
Menyongsong rindu merekah
Tumpah ruah di sanubari
/16/
Gejolak rinduku rindumu
Dalam jantung menyatu
Getarkan nadi memburu
/17/
Rinduku rindumu menyatu
Membanjir di sungai waktu
Merajah di dinding jarak
Bergolak jantung berdetak
Tilam Sunyi
030909
/1/
Pucuk rindu sentuh gelisah
Saat semilir rindu berhembus basah
/2/
Tiada rasa tanpa arti raga
Tiada rindu tanpa makna cinta
Senandung rindu tak nyata di mata
Tersirat dalam lelaku jiwa
/3/
Jiwa melayang menembus batas
Tak terlihat dinding bersekat
Lelaku rindu kian terhempas
Di jarak waktu yang tak lekat
/4/
Rindu dalam sekat waktu
Berpagar jarak sendu
Perlahan kudaki tangga sembilu
Rasakan tiap langkah didera pilu
/5/
Semilir desah rindu
Menyayat menyembilu
Rebah ke pangkuan
Meniti dalam kelam
/6/
Gigil rindu mengalir disungai nadiku
Menyebar ke seluruh saraf sarafku
Membelenggu tubuh hingga beku
Terpaku kuberjalan ke muaramu
/7/
Angin rindu membelai tubuh
Menembus pori timbulkan ruam
Gigilnya membakar peluh
Dalam sunyi ku memangku diam
/8/
Dalam sunyi rindu bernyanyi
Dalam diam gigil tak henti
Dalam tilam aku menanti
Bisik rindu menarinari
/9/
Pada malam rindu menari
Bagai belati menikam hati
Dalam sendu aku sendiri
Menatap langit tak berseri
/10/
Rindu selimuti kalbu
Terukir di kisi kisi relungku
Sehalus selendang satin
Memagut menata batin
/11/
Rindu di ujung senja
Terapit waktu kian menghimpit
Penuh luka tetap meronta
Dalam bilik teramat alit
/12/
Rindu dalam keseorangan
Menjerat dalam benang penantian
Sembilu menyayat
Luka memerah merekah
Meradang tergarami
Pedih perih tanpa tepi
/13/
Serpih rindu
Menggenggam sukma
Menggigit mencabik
Darah menghitam
Tetap manis dan segar
Bak madu meracuniku
/14/
Embun suci hidupkanku
Udara pagi bangunkanku
Bara rindu hangatkanku
/15/
Dalam terik ku melangkah
Dalam sunyi ku berlari
Menyongsong rindu merekah
Tumpah ruah di sanubari
/16/
Gejolak rinduku rindumu
Dalam jantung menyatu
Getarkan nadi memburu
/17/
Rinduku rindumu menyatu
Membanjir di sungai waktu
Merajah di dinding jarak
Bergolak jantung berdetak
Tilam Sunyi
030909
Langganan:
Postingan (Atom)