Selasa, 14 September 2010

Kerinduan di Puncak Ijen





Cerpen Oleh : Lia Salsabila


SEPULUH jam, bukan perjalanan sebentar, cukup melelahkan. Perih pun memagut hati tak terperi. Sepanjang jalan kulalui dalam diam. Pikiranku mengawang tak alang kepalang. Kembali kubaca surat dari Rangga. “Arrghh..!! Mengapa begitu berat rasa ini,” batinku. Lelehan air bening mengalir lagi tak bergeming dari sudut kelopak mata.

Jalanan mulai menanjak bergelombang. Dingin menusuk hingga ke tulang, menyadarkanku untuk kembali dari kembara maya tak henti. “Sampai di manakah ini?” batinku.
Sekilas kulirik sopir angkot yang membawaku dari terminal Bondowoso. Ia begitu asyik menekuri jalanan curam dalam diam. “Hufftt… apa yang kucari hingga aku mendampar di sini?” batinku.
Kembali membayang wajah-wajah orang terkasih. Elang yang teramat kurindukan, tak jua memberi kabar. Dan Rangga yang baru saja kutinggalkan. “Ya Tuhan,” desahku.
Tiba-tiba mobil berhenti. “Saya hanya bisa mengantar sampai di sini, Neng,” ujar supir angkot.
“Seberapa jauh lagi, Pak, ke Jampit?” tanyaku.
“Sekitar 15 km. Dari sini Neng naik ojek saja ke sana,” jelasnya.
Kuayun langkah ke pangkalan ojek yang ditunjuk. Tak tampak seorang pun. Kembali aku termangu dalam diam, serupa orang terbuang. Detik ke menit, menit ke jam, tak satu pun langkah dan sapa kutemukan.

Hampir magrib ketika kulihat sepeda motor menuju arahku. Tanpa peduli apapun langsung kuhentikan motor itu.
“Ada apa mbak?” tanya pemuda pengendara motor.
“Mas, mau ke Jampit ya?” tanyaku. Dia hanya mengangguk.
“Boleh ikut, Mas? Saya juga mau ke sana.”
Hening sejenak. Tak lama dia pun menjawab. “Baiklah, Mbak. Oh ya, kenalkan. Nama saya Jack,” ujarnya mengulurkan tangan.
“Liana,” jawabku, menyambut uluran tangannya.

Jalanan kian buruk. Tanjakan terjal dan curam tak dapat dihindari. Hawa dingin semakin menusuk seakan ingin membekukan badan. Di kejauhan tampak titik-titik cahaya kian lama kian dekat. Berikut deretan rumah mungil lengkap dengan taman di halamannya. Khas rumah di perkebunan.
“Mbak mau ke tempat siapa?” tanya Jack.
“Ke rumah Pak Yoss, manajer PT….,” jawabku, menyebut nama sebuah PT.
“O, kebetulan, Mbak. Saya juga mau bertemu Pak Yoss.”
Tak lama kami berhenti di depan sebuah rumah mungil namun asri dan bersih. “Saya panggil Pak Yoss dulu, Mbak.” Bergegas Jack masuk. Sekian detik berselang, Jack sudah keluar bersama seseorang yang mirip Mr. Jefri, bosku waktu di Denpasar. Dia tersenyum lebar.
“Selamat datang, Mbak Liana. Saya Yoss, Manajer Produksi di sini. Mr. Jefri sudah banyak bercerita tentang mbak. Semoga betah tinggal di sini, dan selamat bergabung,” ucap Pak Yoss menyambutku.
“Terimakasih, Pak Yoss,” jawabku.
“Oh ya, besok saja kita bicara. Sekarang Mbak istirahat dulu. Jack, tolong antar Mbak Lia ke rumah Pak Umar.” Aku dan Jack mengangguk bersamaan.

Aku tinggal di rumah Bapak dan Ibu Umar. Mereka hanya tinggal bertiga dengan cucunya. Sebenarnya ada mess perusahaan. Namun aku menolak tinggal di sana, karena penghuninya lelaki semua, termasuk Jack yang ternyata mandor di perusahaan ini.
Aku langsung akrab dengan keluarga kecil itu. Mereka sangat ramah dan antusias menyambut kedatanganku. Meski rumah bambu, namun tetap nyaman. Untuk mengusir dingin Ibu Umar memberiku tiga selimut tebal.
Dusun Jampit berada di kaki Puncak Ijen dengan ketinggian ± 1.600 mdpl. Dan kalau tidak salah dengar, tadi Pak Umar mengatakan bahwa sekitar bulan Juli – Agustus sering muncul frost (embun salju).

Tak terasa sudah sebulan. Aku seolah dibuat lupa pada perih akan rindu yang meyembilu. Tiap hari ada saja hal yang harus didiskusikan dengan Pak Yoss dan dirapatkan dengan semua mandor. Paling menyenangkan ketika aku ke lahan mengecek tanaman dan panen. Semua resah seolah terbang bersama hembusan angin.
Pagi ini, seperti biasa aku keliling lahan saat kabut masih landai. Ujung dedaun kuyup oleh embun. Tetesannya berpindah cepat ke ujung celana menambah gigilnya raga.
“Mbak Lia..!!” Aku menoleh ke arah asal suara. Tampak sesosok ramping berlari mendekat.
“Ada apa, Jack?” tanyaku ketika sosok itu sudah di dekatku.
“Besok akan ada mobil dari Bali, mengambil sayur. Sore ini kita harus panen,” jawab Jack masih terengah.
“Dari Bali? Siapa Jack, yang bawa…? Siapa???” cecarku gugup. Jack terlihat bingung memandangku.
“Aku juga tidak tahu, Mbak,” jawabnya.
“Ya, sudah. Hubungi semua mandor. Kita panen jam 3,” kataku. Lalu bergegas meninggalkan Jack yang kian bingung dan termangu dalam anggukannya.
Setelah perbincanganku dengan Jack pagi tadi, kedamaian seolah menguap dari hati. Beban rasa seakan ditarik magnet, tersedot kembali ke permukaan. “Ya Tuhan. Ranggakah? Gustikah? Atau yang lainnya yang menjemput sayur besok?” desahku.
Sekelebat wajah mereka kembali membayang. Aku membolak-balik foto yang dulu sempat kuambil. “Rangga, masihkah sejuta misteri menyelimutimu?”
Tiba-tiba hatiku terkejut, berdesir, ketika selembar foto jatuh di pangkuan. “Ya Allah.. Elang,” gumamku. Tak tertahan tetesan bening luruh lewati pipi. “Sayang, engkau di mana? Mengapa tiada berita? Tak adakah rindu di hatimu?” isakku sendu.

Melamun menatap awan
Mencarimu di antara bias cahaya rembulan
Pandanganku nanar
Tak satu pun jejakmu di sana

Akankah janjimu kau lupa
: aku akan kirim senyuman melalui purnama,
sebagai pengganti raga
Mana?!

Tak sekelebat pun ronamu di sana
Arrrgghh…!!

Aku tetap memandang
Berharap bayangmu datang
Walau dalam mimpi malam

“Hei, siapa ini. Please… jangan main-main,” teriakku ketika sepasang tangan membekap mataku dari belakang.
“Liana, aku begitu merindukanmu,” bisiknya syahdu.
“Kak Gusti? Benarkah ini kakak?” seruku gembira.
“Iya, Dek. Ini aku, Gusti,” ujarnya sembari membalik tubuhku.
Aku tersenyum menatapnya. Dia tak berubah, tetap lembut penuh kasih. Namun, ada yang perih di hati. Gerimis tak terbendung menguar sendu.
“Mengapa bukan Rangga?”rintihku di hati. Bukan tak senang bertemu Gusti. Namun tak bisa dipungkiri, aku berharap Rangga yang datang.
“Dengan siapa kakak kemari?” tanyaku ketika kami sudah duduk di dangau, melihat orang-orang menaikkan barang.
“Dengan Yusuf. Kenapa?” Gusti balik bertanya.
“Enggak, gak ada apa-apa,” jawabku gugup.
“Kenapa Rangga tidak ikut?” kembali aku bertanya.
Huffttt..! Lirih kudengar Gusti menghela nafas. Lalu, “Kenapa kamu malah bertanya tentang dia, Liana? Kenapa?!” Gusti sedikit emosi.
“Tidak cukupkah hadirku membuatmu senang?” Gusti melangkah, menjauh, tanpa menunggu jawabku. Tampak gurat kecewa di wajahnya.
“Arrgh..! Mengapa aku begitu bodoh, tak pernah peka pada perasaan Gusti?” rutukku.

Sejak kedatangan Gusti dan kepergiannya tanpa pamit itu, beban rasa kian menghimpit. Bayang wajah Elang, Rangga dan Gusti menjejali pikiran. Surat yang rencananya kutitipkan buat Rangga, kuremas geram. Dalam hati kuniatkan, besok pagi semua beban akan kuutarakan. Tanpa sadar sajak kerinduan menguar.

Rindu dalam sekat waktu
Berpagar jarak sendu
Perlahan kudaki tangga rindu
Rasakan tiap langkah mendera pilu

Angin rindu membelai tubuh
Menembus pori timbulkan ruam
Gigil kerinduan membakar peluh
Dalam sunyi kupangku diam

Gerah rindu membanjir ulu hati
Membentur dinding jarak memagari
Setia pada janji terpatri

Bergegas aku mencari Jack di mess. Seperti niatku semalam, pagi ini aku harus naik ke Bukit Hitam, sebuah bukit di dekat perkebunan. Mengungkapkan semua beban rasa pada Elang dan Rangga. Mungkin juga aku harus minta maaf ke Gusti. Selain tak ada aliran listrik, di Jampit juga tak ada jaringan telpon. Perlu pergi ke Kecamatan Sempol, atau naik ke Bukit Hitam untuk mendapatkan sinyal HP.
“Jack, tolong antar aku ke Bukit Hitam sekarang. Aku harus menelpon. Penting..!” pintaku setengah memohon pada Jack.
“Mbak Lia yakin mau ke sana? Bukit itu lumayan tinggi lho. Setengah jam dari kaki bukit hingga puncak.”
Aku mengangguk mengiyakan.
Tepat tengah hari aku dan Jack sampai di puncak Bukit Hitam. Benar kata Jack, bukit ini lumayan tinggi. Licin berbatu. Namun aku tak perduli. Demi orang terkasih, apapun rela kulakukan. Kami berkeliling mencari sinyal. Tepat di sebuah batu besar, sinyal lumayan kuat.
“Aku menelpon dulu ya, Jack. Silakan kamu jalan berkeliling.”
Jack hanya mengangguk, lalu pergi menjauh.
Baru menekan nomor Elang, tanda pesan masuk berbunyi panjang. Sekitar 20 pesan kulihat. Sebagian besar dari Elang, beberapa dari Rangga dan adikku. Satu satu kubuka pesan dari Elang.
#1 “Liana sayang, maafkan aku baru berkirim kabar”
#2 “Sayang, betapa aku merindukanmu. Adakah kau jua rindu? Mengapa tak kau balas pesanku, marahkah?”
#3 “Liana, mengapa tak jua kau balas pesanku? Ada apakah gerangan?”
Serangkaian pesan sarat kerinduan membuat rinduku kian mendayu. Seakan menebus kesalahan karena dia jarang menghubungiku sewaktu di Bali.
Segera kutekan nomor Elang. Tuuut….
”Hallo, sayang,” jawab Elang dari seberang.
“Elang, bagaimana kabarmu? Aku rindu,” jawabku syahdu. Tut..tut..tut..tut, sambungan telephon tiba-tiba terputus. Kembali kutekan nomor Elang.
“Nomor yang anda tuju sedang sibuk.”
“Duh Elang..angkat donk, please…”
Sekali lagi kutekan nomor Elang. “Nomor yang anda tuju sedang sibuk.” Ketiga, keempat, kesekian kali kupencet nomor yang sama dengan jawaban yang sama pula.
Tak terasa air mata jatuh satu satu. Terduduk aku menahan pilu. Terisak dengan dada kian sesak.
Kucoba menghubungi Rangga. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.” Berkali kucoba, berkali pula kudengar jawab yang sama.
“Ya Tuhan. Sejauh ini aku mendaki, akankah sia-sia?” isakku kian tak tertahan.
Gusti. Iya, Gusti. Siapa tahu aku bisa bicara dengannya. Berkali kutelpon Gusti. Namun tak juga diangkat, meski terdengar nada masuk. Mungkin dia masih kecewa.
Kuperas luka hingga mengering. Kubiarkan perihnya menganak sungai melewati sudut mata, lalu jatuh mengalir di kedua pipi yang lama kering. Seiring beban luka yang terangkat menguap dihembus semilir, luruh ke tanah terserap musnah.
Dengan gontai kuhampiri Jack. “Kita turun sekarang, Jack,” kataku parau.
“Bisa nyambung, Mbak, teleponnya?” tanya Jack. Namun kubiarkan pertanyaannya menggantung tanpa jawaban.
“Besok aku mau turun ke Sempol. Kalau mau, Mbak boleh ikut,” Jack bersuara kembali memecah keheningan. Aku hanya mengangguk lemah menanggapi ajakannya.

Kerinduanku kian menggunung, air mata berderai tak terbendung. Masih kusimpan harap, esok kerinduan kan terjawab. “Ya, aku harus ikut Jack besok ke Sempol,” yakinku dalam hati.
Sebelum melangkah ke alam mimpi, kusempatkan menulis sepucuk surat buat Rangga. Besok akan kukirim lewat kantor pos.
Termenung di atas tilam, aku pun berbisik. “Oh purnama, andai kau ada di sampingku, tak hanya mengintip dari celah jendela kayu, pasti aku memelukmu. Berbagi kisah sendu, atau hanya sekedar merajuk manja, tuk usir semua gulana dan penat jiwa. Andaipun tak bisa, tak mengapa. Cukup dengarkan saja kidung sunyiku. Lalu tersenyumlah untukku, hingga aku bisa memelukmu dalam mimpiku.”

Pagi-pagi sekali Jack sudah datang. Kudengar dia berbincang dengan Pak Umar. Lalu, “Mbak Liana jadi ikut, kan? Sudah siap apa belum?” Tanya Jack dari balik pintu.
“Sedikit lagi, Jack,” jawabku. Sekali lagi kupatut diri di depan cermin sebelum keluar kamar menemui Jack.
“Bapak, Ibu.. Saya ke Sempol dulu ikut Jack,” pamitku.
“Hati-hati di jalan, Nak.” Ramah dan penuh kasih, Bapak dan Ibu Umar melepasku.
Aku dan Jack berjalan beriringan menuju mess. Sepeda motor Jack ada di sana.
“Yang lainnya mana, Jack? Kita berdua saja?” tanyaku.
“Iya, Mbak. Yang lain sudah berangkat duluan. Tadi, sewaktu aku menjemput Mbak” jawab Jack.
Kami berangkat dalam diam. Aku masih saja takjub dengan pemandangan di sini. Begitu indah. Hawanya juga sejuk. Bukit-bukit landai dengan hamparan rumput menghijau. Sangat tepat untuk lokasi shooting, pikirku.
“Berhenti dulu Jack,” pekikku tiba-tiba setelah tanpa sengaja kubuka tas.
“Ada apa, Mbak?” tanya Jack mengerem mendadak.
“Surat dan HP-ku ketinggalan,” jawabku penuh sesal dan kesal. Kok bisa-bisanya aku seteledor ini. Mungkin karena tadi terburu-buru, dan sudah lama HP jarang digunakan, jadi lupa.
“Bisakah kita kembali sebentar, Jack?” pintaku memohon.
Dia hanya mengangguk lemah dan langsung putar arah. Sekilas nampak kesal di raut wajahnya.

Sesampai di rumah aku langsung bergegas ke kamar. HP dengan cepat kutemukan. Tinggal surat untuk Rangga. Seingatku ada di meja. Tapi sekarang tak ada. Kugeledah seisi kamar, tak juga kudapatkan surat itu. Hampir menangis ketika tiba-tiba Ibu masuk.
“Cari apa, Nak Liana,” tanya Ibu, lembut.
“Surat, Bu. Semalam saya taruh di meja. Sekarang sudah tidak ada,” jawabku sambil mencari di lemari.
“Coba lihat adikmu di depan. Dia kelihatan asyik dengan sesuatu,” kembali Ibu berkata.
Kuhampiri cucu Ibu di ruang tamu. “Ya Tuhan!” pekikku dalam hati. Surat itu sudah diremas-remas tangan mungilnya.
Mau marah, percuma. Si kecil yang sering kugendong itu jelas tak tahu apa-apa. Ia mungkin kebetulan menemukannya di dalam kamarku yang tak terkunci.
Kekesalanku tumpah dalam air mata. Kerinduan yang kutuang dalam tulisan semalam, menjadi tak ada artinya. Tanpa menunggu lagi, segera aku kembali menjumpai Jack.
“Ayo, Jack. Kita berangkat,” ajakku pelan.
Sepanjang perjalanan kami lalui dalam diam. Jack juga tak mengajakku berbincang. Mungkin dia sungkan karena tadi sempat melihat air mataku menggenang.
“Itu kantor posnya, Mbak,” kata Jack.
“Gak perlu ke sana, Jack. Suratnya hilang,” jawabku dengan suara kembali bergelombang. Harapan untuk memberi kabar dan bercerita tentang banyak hal pada Rangga, sirna. Semoga aku bisa meneleponnya kali ini.
“Di kantor kecamatan sinyalnya kuat, Mbak,” Jack membuyarkan lamunanku.
“Mbak nggak apa-apa kan saya tinggal di sana sebentar. Saya mau ke teman-teman yang lain dulu,” lanjut Jack. Aku hanya mengangguk pasrah.
Tak ingin membuang waktu, segera kutekan nomor Elang.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.”
“Duh Elang, kamu di mana?” rintihku lelah.
Sekali lagi kutekan nomor Elang. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.” Ketiga, keempat, kesekian kali, masih juga jawaban yang sama.
Tak terasa air mata kembali jatuh. Kejadian di Bukit Hitam terulang kembali. Terduduk aku menahan pilu. Terisak dengan dada makin sesak.
Kucoba menghubungi Rangga. “Tuut….Maaf, aku sedang sibuk. Silakan meninggalkan pesan.” Berkali kucoba, berkali pula kudengar jawaban itu-itu juga.
Batinku terasa begitu lelah. Beban rasa satu pun tak terbelah. Utuh menyembilu serupa pisau menghunjam jantungku. Aku menangis tak tertahankan. Isakan mengguncang tubuh tak kuhiraukan. Biarlah kerinduan dan beban ini tumpah, meruah.
Tiba-tiba, “Mbak Lia, kenapa?” Jack sudah berada tepat di depanku. Tak kusadari kehadirannya.
“Semua.. sia-sia.., Jack. Tak satu pun.. yang bisa.. kuhubungi,” jawabku terputus-putus di sela isakan.
“Harapan… untuk bisa melepas kerinduan… dengan orang terkasih… padam sudah..,” rintihku sesenggukan. Jack hanya mendengarkan tanpa bersuara sedikit pun.
Sekian menit kami tenggelam dalam keheningan.
Tiba-tiba Jack meraih tanganku dan menggenggamnya, seraya berkata, “Tumpahkan semua kesedihanmu padaku, Liana. Telah lama aku memperhatikanmu. Sepertinya begitu banyak beban kaurasakan. Dan semuanya tampak di telaga matamu yang bening.” Ia tak lagi memanggil mbak.
Aku terkejut. Mulut tanpa sadar menganga. Masih tidak percaya pada perlakuan Jack dan semua kata-katanya.
“Kenapa diam, Liana? Aku serius dengan ucapanku.” Kembali Jack berkata, meyakinkan. Aku tetap bergeming, tak menjawab pertanyaannya.
Hampir satu jam menangis, dan sudah lelah, aku berkata lirih pada Jack yang sejak tadi di sampingku. “Aku akan cerita, Jack. Tapi tidak saat ini. Lebih baik kita pulang saja sekarang,” pintaku padanya. Lagi-lagi ia hanya mengangguk mengiyakan. Hal yang aku suka darinya, selalu mengerti kapan harus diam dan bersuara.
Sebelum berangkat kusempatkan mengirim pesan buat Elang. “Maafkan aku, sayang. Tak ada maksud tak hiraukan pesanmu. Namun sinyal di sini tidak memungkinkan. Aku akan menceritakan semua padamu nanti. Aku tunggu di tempat biasa kita bertemu, akhir bulan ini. Aku harap kamu bisa datang. Love hamesya*, Liana.”

Hampir magrib ketika aku menginjakkan kaki di dalam kamar. Segera kubersihkan diri. Berwudhu, lalu bersiap shalat Magrib. Dalam doa-doa panjang kembali kutumpahkan semua beban. Air mata menetes membasahi mukena, seakan tak pernah surut. Biarlah hari ini aku menangis menumpahkan segalanya.
Sejak saat itu, hari terasa kian panjang. Malam-malam begitu lengang. Musim frost pun datang beranting. Aku makin tergigil, sendiri di puncak terasing. Kutulis banyak pesan untuk Elang dan surat buat Rangga, walau keduanya tak mungkin terkirimkan. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk meredam gejolak kerinduan.

“Pada merdu orkestra binatang malam, kuselipkan sebaris nada kerinduan akan kesucian heningnya malam, serta sapa santun penuh senyuman. Elang…adakah jua rindu di hatimu? Salam malam selembut cahaya rembulan.”

“Elang, saat temu hanya menjadi sebuah harapan, terhalang oleh jarak membentang. Percayalah, takkan kulepas cintamu. Yakinlah, cinta kita kan selalu menyatu dalam kalbu.”

“Tiupkan semilir Kawah Ijen ‘tuk mengusir gerah rindu yang membakar kalbu. Kecup kelopak mataku dengan sejuk embun saljumu, hingga kulelap. Dan dalam mimpi kan kubawa rindu ke pangkuan hatimu.”

Kutatap wajah Elang yang lamat-lamat muncul di balik purnama. Sepersekian jenak, sebelum lelap menghanyutkanku. ***

Januari ’10

Tidak ada komentar: