Minggu, 12 September 2010

Secuplik Cinta di Pulau Dewata





Cerpen : Lia Salsabila


“UBUNG terakhir….Ubung terakhir.” Aku tergeragap bangun, melihat pergelangan tangan. Masih jam 5 pagi.
Turun dari bus yang membawaku dari kota Blambangan semalam, seorang pria separuh baya menghampiri. “Mau ke mana, neng?” tanyanya.
“Ke jalan Mertasari, Sanur, Pak. Tapi saya mau shalat dulu.” Aku bergegas mencari mushalla terdekat.
Usai shalat aku kembali ke terminal. Masih bingung, karena baru pertama kali menginjakkan kaki di kota dengan keindahan terkenal ke mancanegara ini. “Hmmm….Pulau Dewata , sampai juga aku di tanahmu,” gumamku dalam hati.
Pria tadi yang ternyata supir taksi kembali menghampiri, “Bagaimana, neng? Mau saya antar?” Aku mengangguk.
Kami tawar menawar harga, dan sepakat. Tak lama aku sudah di dalam taksi, meluncur di jalanan Kota Denpasar di pagi yang masih lengang. Tatanan kota begitu asri. Bangunan-bangunan khas lengkap dengan tugu-tugu berpayung di depannya membuatku kian tertarik .
“Pak, bangunan seperti tugu berpayung itu, apa ya? Kenapa hampir di tiap rumah ada?” tanyaku penasaran.
“Itu pura, neng. Tempat pemujaan kami, umat Hindu. Di tiap rumah pasti ada, meski hanya sebagai replika dari pura yang lebih besar. Misalnya replika dari Pura Besakih,” jawab bapak supir taksi itu.
Ooo… jadi itulah pura yang pernah kubaca atau kudengar ceritanya, batinku, sambil tetap memperhatikan deretan rumah dengan pura di depannya.
“Mertasari berapa neng?” pertanyaan pak supir mengagetkan keasyikanku. Aku menyebutkan sebuah nomor.
Di depan gerbang berwarna biru taksi berhenti. “Sudah sampai, neng,” ujar supir taksi itu lagi. Bergegas aku membayar ongkos taksi, lalu turun dan berjalan ke gerbang yang tertutup rapat.
Ketika aku masuk, terlihat bangunan besar seperti gudang dan sebuah rumah mirip kantor. Tempat ini begitu lengang, pikirku. Agak lama aku berdiri mematung di depan bangunan rumah itu, memperhatikan pura yang cukup besar lengkap dengan sesajen di sekitarnya. Tiba-tiba, “Cari siapa, mbak?” sebuah suara menegurku.
“Emm..saya mau ketemu Pak Handoko, mas,” jawabku.
“Tunggu saja di kursi panjang itu, mbak. Jam 8 baru dia datang.”
Aku duduk di kursi yang ditunjuk pemuda tadi. Kalau dilihat dari logatnya sepertinya dia asli orang Bali.
Sudah jam 8, tapi Pak Handoko belum juga kelihatan. Gudang yang tadi sepi sudah hidup dengan aktivitas para pekerja.
Hampir jam 9 saat kulihat seorang berbadan tinggi besar menghampiriku. Dia tersenyum, “Mbak Liana ya?”
“Iya,” jawabku.
“Saya Handoko, HRD di sini,” ia memperkenalkan diri sambil menjabat tanganku. “Saya dapat kabar dari Mr. Jefry jika mbak tiba hari ini. Selamat datang, mbak.”
“Terimakasih, Pak,” jawabku sambil tersenyum.
Jabatanku lumayan, sebagai Quality Control yang bertugas menjaga kualitas semua barang di perusahaan ini. Perusahaan distributor sayuran. Pelanggannya hotel-hotel, kafe dan mall. Jumlah karyawan sekitar 25 orang, semua baik dan ramah. Ada Wayan, Rangga, Yusuf, Gusti, Paulina, dll. Untung, karena sikapku, aku langsung akrab dengan mereka.
Bulan pertama di Pulau Dewata begitu berat. Aku harus adaptasi, terutama dengan cuaca. Baru seminggu kerja sudah sakit. Huuft.. Ditambah lagi harus menghafal nama semua jenis sayuran di gudang pendingin yang kebanyakan belum pernah kulihat. Namanya bikin aku susah. Ada lolobionda, red okleaf, green okleaf, mizuna, lolorosa, baby bean, dll. Yang paling menyiksa, rindu yang kian menggunung pada sepotong hati nun jauh di sana. Adakah dia juga rindu? Tapi aku sedikit terhibur, dan bisa melupakan semua beban, berkat dua makhluk ganteng bernama Rangga dan Gusti. Aku terkesan dengan sikap mereka. Rangga dengan sejuta misterinya yang seolah tak terjamah. Gusti dengan sejuta perhatian, kelembutan serta senyuman mautnya. Tapi kembali aku teringat pada tambatan hati yang begitu jauh. Sejumput air terasa bergulir dari bola mataku.
Aku bekerja 6 hari dalam seminggu. Tiap hari bekerja 8 jam. Selain cek barang, kadang juga ikut mengantar barang ke pelanggan, sekalian survei. Seperti pagi ini, aku harus ikut ke Nusa Dua dengan Rangga. Aku senang bukan main. Kalau sendirian pasti aku sudah lompat-lompat.
Kami pun berangkat setelah semua barang orderan masuk mobil. Ini pertama kalinya aku pergi berdua dengan Rangga. Seperti biasa dia diam seribu bahasa. Matanya fokus ke jalanan. Wajahnya tanpa senyum. Bête banget jadinya.
Kunikmati pemandangan sepanjang jalan ke Nusa Dua dalam diam. Melihat pura-pura berjajar, rasa ingin tahuku semakin besar. Kuingat sopir taksi yang mengantarku dulu. “Bapak yang baik,” batinku. Tiba-tiba aku jadi sedih. “Arrghh…kenapa Rangga tak seramah dia? Bukankah dia bisa juga bercerita tentang pura padaku?” rintihku dalam hati. Sesekali aku curi pandang ke arahnya. Hmm.. makin ganteng kalau dilihat dari dekat. Tapi ada sesuatu di sana yang begitu sulit aku artikan.

Wajah itu begitu tegas namun lembut
Mata itu meneduhkan namun ada gurat luka di sana
Bibir tanpa senyum, penuh misteri

Aku tinggal di mess perusahaan. Setiap 2 hari sekali aku harus cek barang kiriman dari Kawah Ijen, kebun perusahaan, yang datangnya jam 1 pagi. Aku di mess bersama 7 orang lainnya. Semua laki-laki, termasuk Rangga dan Gusti. Di antara mereka berdua, aku lebih dekat dengan Gusti. Gusti selalu mengantarku ke mana-mana. Dia ramah, lembut, penuh perhatian hingga aku nyaman bersamanya. Karena kedekatanku dengan Gusti, muncul gosip kalau kami berpacaran. Dan Rangga seolah tak peduli dengan gossip itu. Rangga semakin penuh misteri. Tapi kenapa kadang aku begitu yakin kalau dia suka padaku. Hufft.., kenapa dia tak sebaik Gusti dan yang lainnya, rutukku.
Sore ini aku berencana ke Sanur dengan Gusti. Sekitar jam 17.00 WITA kami berangkat. Di gerbang kulihat Rangga melangkah masuk.
“Hei Ga, ikut yuk ke Sanur,” sapaku.
“Enggak ah. Malas, ntar mengganggu lagi,” jawabnya.
”Iya enggak lah, Ga,” kataku. Dia langsung pergi tanpa menjawab. Sekilas kulihat ada kilat amarah di matanya. Wajahnya makin keras. Ada gurat kecewa di sana. Mungkinkah dia cemburu? Ah, tak mungkin, pikirku.
Di perjalanan kunikmati lagi rumah-rumah dengan bangunan pura di depannya. Mengingatkanku pada perbincangan dengan supir taksi yang mengantarku dulu.
“Liana, kita sudah sampai nich. Ayo turun,” seru Gusti membuyarkan lamunanku. Kami melangkah ke pantai.
“Ramai juga ya kak, pantainya. Ke dermaga itu yuk,” ajakku ke Gusti yang memang dari awal kupanggil kakak. Bergegas kami menuju dermaga. Banyak pasangan muda-mudi yang juga menikmati indahnya suasana pantai.
“Mas-mu sudah telpon, Liana?” Gusti tiba-tiba bertanya.
“Belum, kak. Ini sudah seminggu. Aku sms nggak dibalas, aku telpon nggak aktif.”
Gusti diam. Lalu, “Sabar ya, mungkin mas-mu memang sibuk,” ujarnya. Aku mengangguk.
“Eh, Rangga tadi kenapa ya. Kok begitu, seperti nggak suka kita jalan. Jangan-jangan dia naksir Liana tuch, hehe..,” ujarnya lagi.
“Jangan asal dech, kak. Nggak mungkinlah,” jawabku.
Kami nikmati keindahan pantai Sanur hingga malam tiba.
“Sudah malam. Pulang yuk,” ajakku. Kami pun pulang dalam diam.
Aku makin betah di perusahaan ini, di kota ini. Semua begitu baik padaku, terutama Gusti yang semakin perhatian. Kecuali Rangga. Dia tetap cuek penuh misteri. Dari mbak Paulina aku tahu kalau dia pernah patah hati. Aku makin penasaran dan agak tersinggung karena dia nyaris tak pernah menganggapku. Sialan…, umpatku dalam hati.
“Liana, kamu dicari Rangga tuch,” kata Yusuf. Rangga tampak tergesa menghampiriku.
“Ada apa, Ga? Serius banget,” ujarku.
“Ikut aku ke Hard Café, mereka complain.” Rangga terlihat tegang.
“Sekarang, Ga?” tanyaku.
“Tahun depan… Iya, sekaranglah. Ayo, buruan.” Tanpa menunggu jawabanku dia berjalan ke mobil. Meski dongkol, aku bergegas mengikutinya. Kami berangkat hanya berdua.
“Apa complain-nya, Ga?” tanyaku. Rangga tetap bungkam seribu bahasa. Aku makin dongkol dengan sikap Rangga.
Tak sampai 15 menit kami sampai di Hard Café. Rangga bergegas masuk tanpa sepatah kata pun. Aku mengekor di belakang dengan perasaan tak menentu.
Tiba-tiba, “Bagaimana ini, Mas. Jual lettuce atau ulat sich?!” teriak kepala koki Hard café. “Untung belum disuguhkan ke tamu. Bisa rugi kami,” rentetnya penuh emosi.
“Kami mohon maaf, Pak, atas kelalaian ini,” ujar Rangga tenang. “Kami akan ganti, dan untuk lettucenya digratiskan,” lanjut Rangga.
Rangga bergegas keluar. Dan masuk lagi dengan beberapa bungkus lettuce di tangan.
Kejadian itu begitu cepat. Sebagai seorang Quality Control, ada sejumput rasa malu menyerangku. Lettuce itu seperti lepas dari pengawasan. Tapi untung ada Rangga, yang bertindak cepat dan tepat. Meski tanpa minta persetujuanku. Aku dibuat tercengang. Lebih tepatnya, terpesona pada ketenangan dan keramahan Rangga yang belum pernah kulihat. “Ya Tuhan, aku semakin tertawan” rintihku.
Sebenarnya aku sudah terikat janji dengan sepotong hati nun jauh di sana. Kami sudah menjalin hubungan cukup lama. Namun aku mulai ragu padanya. Semenjak aku di Pulau Dewata dia jarang telepon. Dalihnya, sibuk kerja dan tidak ada waktu. Hhmmm, bagaimanapun aku jadi bimbang. Apalagi di sini ada Gusti yang selalu perhatian, dan Rangga yang membuat aku penasaran. Sepotong hatiku makin tidak jelas rasanya. Aku mesti bagaimana?
Malam ini mataku masih terbuka lebar. Tak ada tanda-tanda sedikitpun akan terlelap. Besok sore aku akan berangkat ke Kawah Ijen. Setelah 4 bulan di sini, aku dipindahkan ke kawasan pegunungan di daerah Bondowoso, Jawa Timur itu. Untuk mengontrol kualitas hasil sayuran di sana. Entah untuk berapa lama. Bayangan wajah Rangga menjadi penghuni tetap hatiku malam ini. Dan mata Rangga semakin terlihat kelam.
“Liana, ikut aku yuk,” Rangga berkata lembut sekali.
“Ke mana?”
“Ayolah, nanti kamu pasti tahu.”
Aku pun naik ke atas motor yang dipakai Rangga. Katanya, lebih asyik pakai motor. Karena itu ia tidak membawa mobil.
15 menit kemudian di depanku menghampar keindahan pantai Sanur. Ombaknya berdebur pelan dengan riak-riak kecil. Allahu Akbar, sungguh pemandangan yang amat indah. Terasa jauh lebih indah dibanding ketika aku ke sini bersama Gusti.
Aku turun dari motor. Tiba-tiba Rangga menggandeng tanganku. Aku terkejut, tak bisa berbuat apapun ketika dia membimbingku menuju tepian pantai. Wajahnya begitu lembut. Matanya teramat teduh, seakan aku ingin tenggelam di dalamnya.
“Liana.. Jujur, sebenarnya aku suka padamu. Aku mulai mencintaimu.”
Aku terkejut. Bibirku ternganga lebar. Benarkah yang aku dengar?
Belum sempat Rangga melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba, kringggg! Aku tersentak. Jam 5 pagi. Ya Allah, ternyata semua itu hanya mimpi.
Siang itu aku begitu sibuk mengurus keberangkatanku. Pamit sama teman-teman, bercanda dengan Gusti yang seolah tak mau jauh sedikitpun dariku, dan melupakan sosok Rangga yang memang tak nampak sejak tadi. Kata teman-teman, ia sudah pergi dari pagi. Tidak tahu ke mana. Aku sedih, namun hanya sesaat. Karena aku kembali sibuk dengan semua persiapan, dan juga rapat dengan Mr. Jefry.
Tepat jam 3 sore aku bersiap berangkat. Mobil travel sudah datang. Barang-barang sudah dinaikkan ke dalam mobil oleh Yusuf. Semua sahabatku ada di sini. Wayan, Yusuf, Gusti, dan mbak Paulina. Mereka mengantar kepergianku. Gusti menatap nanar. Penuh harap aku celingukan mencari Rangga. Namun lagi-lagi dia tak tampak. Seolah mengerti apa yang aku cari, mbak Paulina berseru, “Dia belum pulang, Liana.”
“Hmmm, iya mbak. Nggak apa-apa. Salam buat dia, ya mbak.”
Dengan berat hati aku masuk ke dalam mobil. Ketika sampai di gerbang, aku terkejut karena ada yang mengetuk kaca jendela.
Ya Allah, wajah itu adalah Rangga. Penuh keringat dan semakin dingin terlihat. Namun ada sesungging senyum kecil di bibirnya. Tak jauh di belakang Rangga, di luar gerbang, tampak sebuah taksi. Agaknya Rangga datang dengan taksi itu.
“Eh, iya Ga. Ada apa,” kataku terbata.
“Nggak ada apa-apa. Cuma mau mengucapkan selamat jalan saja kok,” jawabnya. Nada bicaranya datar. “Maafkan jika aku punya salah.”
“Sama-sama, Ga,” jawabku. Kemudian dia memberiku sebuah lipatan kertas berwarna biru.
“Apa ini, Ga?” tanyaku.
“Baca saja.” Dia pun menepi karena mobil mulai bergerak. Aghh…, tatapan mata itu begitu lekat dan kelam.
Melewati taksi itu, aku langsung mengenal supirnya. “Itu taksi yang mengantarku dulu,” kataku pada supir mobil travel langganan perusahaan yang membawaku.
“O.., itu bapaknya Rangga, neng,” ujar pak supir travel. Aku tercekat. Ohhh! Ingatanku melayang pada Rangga dan bapaknya. Seperti sebuah lingkaran yang bergerak mengitariku.
Sampai di Gilimanuk aku baru membuka kertas pemberian Rangga. Aku penasaran apa sebenarnya yang dia tulis.

Dear Liana.
Wajah mungilmu seolah begitu rapuh. Namun ada sesuatu di sana. Kekuatan besar yang entah, aku tak tahu itu apa. Matamu sayu, namun begitu kuat menyedot sukmaku. Kata-katamu begitu lugas dan tegas, bagai senandung indah nan merdu. Tanpa sadar aku mulai jatuh, luruh menatap wajahmu, tenggelam dalam tatap mata yang begitu sendu. Setiap kata dan ceritamu seolah menyihirku, membawaku dalam kelenaan panjang ketika menikmati senandung yang kau nyanyikan.
Liana.., aku mencintaimu.
Maaf aku tak mampu mengungkapkannya. Hanya ini yang mampu aku buat dan berikan untukmu.
Maafkan sikapku selama ini.

Aku terhenyak. Tanpa terasa air mataku mengalir. Ya Allah, mengapa harus seperti ini jalan hidup yang kujalani. Andai aku membuka surat ini lebih awal. Aku hanya berdoa dalam hati, jika memang kami berjodoh insyaAllah akan ada jalan yang mempertemukan kami kembali.
Dari kapal feri yang kutumpangi, kulihat pulau Dewata semakin jauh dan mengecil.



Pulau Dewata penuh kenangan
Romansa cinta tak terungkapkan
Tempat sepotong hati pernah singgah
Menunggu diriku tuk memetiknya indah


@@@


Januari ‘10


Cerpen pertama

Tidak ada komentar: